ilustrasi petani tebu
Berbeda dengan Kuba yang struktur masyarakat industrinya diletakkan di atas landasan perbudakan, pertanian tebu di Pulau Jawa di abad 19 mendasarkan dirinya pada hubungan industrial agraris yang rumit.
“Prometheus datang ke Jawa!” ungkap G. Roger Knight. Penulis buku Sugar, Steam and Steel: The Industrial Project in Colonial Java, 1830 – 1885. Roger adalah sedikit dari penulis serta peneliti yang teruji reputasinya, khususnya dalam bidang studi kolonialisme di Indonesia.
Roger lahir di kawasan pedesaan Shropshire, Inggris. Sejak akhir 60-an dia tinggal dan mengajar di Adelaide, Australia.
Dalam mitologi Yunani, Prometheus adalah seorang titan yang mencuri api dari Zeus dan diberikan kepada manusia. Akibat ulahnya ini, Promotheus dihukum oleh Zeus dengan dirantai di sebuah batu besar, dan seekor elang besar akan memakan hatinya setiap hari.
Hati Promotheus akan tumbuh setiap hari dan elang tersebut akan memakan hatinya lagi, begitu seterusnya.
Prometheus yang dimaksud oleh Roger datang ke dalam bentuk teknologi mesin uap, baja dan modal raksasa. Dalam waktu kurang dari seratus tahun, trio Prometheus ini membawa Pulau Jawa menjadi pemasok gula terbesar setalah Kuba di dunia.
Roger mencoba menjelaskan proses transformasi yang terjadi di Pulau Jawa pada pertengahan abad 19.
Berbeda dengan Kuba yang merupakan penghasil gula nomor wahid kala itu, Pulau Jawa memiliki karakteristik daerah pertanian yang tidak berlandaskan pada tenaga kerja budak. Di Kepulauan tropis terbaik se-Asia Tenggara ini, perbudakan seolah tidak mendapatkan tempat yang layak.
Pulau Jawa berubah menjadi kawasan industri manufaktur penghasil komoditas gula yang sangat digemari di dunia. Hal itu berlangsung antara 1830 hingga 1880 saja.
Perkembangan yang melesat itu mendahului negeri-negeri sekitarnya di Asia, dengan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling maju pada saat itu.
Baca Juga:
- Sejarah Panjang Kebun Raya Cibodas
- Kisah Keluarga Tuan Tanah Kaya di Cibubur
- Dilema Mengatasi Kemiskinan Kota
Industrialisasi Berkarakter Timur
Berbeda dengan Kuba yang struktur masyarakat industrinya diletakkan di atas landasan perbudakan, pertanian tebu di Pulau Jawa di abad 19 mendasarkan dirinya pada hubungan industrial agraris yang rumit dan belajar dari beberapa kegagalan sebelumnya.
Berdasarkan perkembangan industri gula abad ke-19, perkembangan kota-kota di Pulau Jawa harus diakui memiliki jejak perubahan secara struktural.
Pertumbuhan ekonomi yang membangun strukturnya di atas model perbudakan adalah salah satu fakta sejarah yang memberi satu kepastian, yakni ketersediaan tenaga kerja.
Perbudakan menyediakan ketersediaan tenaga kerja yang siap pakai, siap jumlah, dan siap tenaga. Semua itu pada masanya dianggap lumrah. Padahal kalau hal itu terjadi beberapa ratus tahun sesudahnya sudah pasti akan melanggar konsensus antarbangsa.
Sejak abad ke-16, Kuba hanya seperti wilayah benua baru Amerika lainnya yang merupakan kawasan tujuan bagi pasokan kekuatan kerja budak. Yang diangkut melewati samudera dari berbagai pelabuhan penjualnya di pantai timur hingga pantai barat Afrika.
Sedangkan di Pulau Jawa, budak tidak pernah menjadi kekuatan tenaga kerja pembangun ekonomi. Memang ada kalanya ketika pelaut-pelaut Portugis datang dan menguasai bandar-bandar komersil, pasar-pasar budak menyediakan orang yang siap dipekerjakan bagi perkebunan besar di Sumatera. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah menjadi industri tetap.
Akibatnya ketika kekuatan modal dari Belanda (Eropa) ingin ikut mengikuti keberhasilan VOC di pesisir utara Jawa dengan membangun kawasan industri berbasis tenaga kerja yang besar, mereka mengalami kegagalan saat memulainya.
Kedatangan Van den Bosch
Pencetus Cultuurstelsel adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diangkat pada Oktober 1828. Dia dikenal dengan nama Van den Bosch. Edi Cahyono dalam buku berjudul Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan (2005) bercerita banyak tentang proses industrialisasi manufaktur di pesisir utara Jawa abad 19.
Van den Bosch tidak segera datang ke Jawa. Dia harus menunggu penyelesaian kebijakan daerah koloni yang waktu itu dikelola swasta kembali ke tangan negara.
Bulan Maret 1829 baru ada kabar pengunduran diri pengelola swasta. Baru pada akhir Juli 1829 Bosch berangkat dari Belanda dan tiba di Batavia 2 Januari 1830.
Pada 13 Agustus 1830, Bosch menyetujui untuk menanam tebu di karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kali ini skema yang dia pilih adalah industri yang didukung oleh perusahaan milik negara atau staatbedrijf.
Salah satu alasan kuat untuk berpindah ke koloni pantai utara Jawa adalah tersedianya populasi petani yang padat dan area-area luas pedesaan yang beririgasi.
Pengelolaan industri selanjutnya dilakukan secara profesional. Pengembang mengelola modal dengan manajemen usaha dan manajemen tenaga kerja yang lebih tertata.
Modal diwujudkan dalam penggunaan gabungan teknologi canggih seperti kincir air dan mesin uap digabungkan dengan kelebihan teknik penggilingan tradisional yang mahir dijalankan oleh orang-orang Tionghoa.
Pengelola manajemen langsung ditangani oleh orang-orang Eropa, sedangkan yang paling istimewa tenaga kerja kasar dikerahkan dengan menggunakan ikatan-ikatan perhambaan yang dimediasikan oleh lapisan penguasa bumiputera.