warteg
Fenomena warung Tegal dipandang sebagai salah satu bentuk usaha gastronomi berskala mikro yang berada di wilayah urban atau kota.
Jika kata ‘Warteg’ disebut, mungkin orang Indonesia sudah sangat paham dan langsung merujuk ke masakan-masakan desa yang masih murah. Warteg merupakan singkatan dari warung dan Tegal.
Warteg di Indonesia telah menjadi suatu fenomena tersendiri yang mengusik keingintahuan. Sama seperti warung nasi padang yang bisa ditemui di seluruh Indonesia, warung Tegal pun seolah ingin menunjukkan eksistensinya.
Apa yang menarik dari warung ini? Mengapa dinamai dengan warung Tegal? Mengapa warung ini identik dengan itu semua?
Rinda Asytuti, dalam jurnalnya yang berjudul Pengusaha Warung Tegal di Jakarta, menulis jika fenomena warung tegal ini adalah bentuk usaha gastronomi atau penyediaan dan penyajian makanan berskala mikro yang berada di wilayah kota atau seputaran urban.
Sejak awal kemunculannya, warung tegal memang berkaitan erat dengan perkembangan kaum urban dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga yang diburu lapar tanpa adanya waktu.
Dalam urusan gastronomi ibukota, bukan hanya nama Tegal yang melekat dengan makanan. Orang Padang atau Minang juga turut mewarnai fenomena kedaulatan perut ibukota.
Baik warteg ataupun nasi padang yang sama-sama populer dalam benak orang saat ini juga turut melekat pada satu subkultur urban yang erat kaitannya dengan identitas kedaerahan.
Baca Juga:
- Dilema Mengatasi Kemiskinan Kota
- ‘Badut’ Belanda dan Kehidupan Kolonial di Batavia
- Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi, Ini Sederet Fakta Tentang Masyarakat Indis
Urbanisasi adalah konteks yang melatari fenomena ini. Magnet besarnya adalah Kota Jakarta yang dulu bernama Batavia. Konon hal ini terjadi sejak Batavia berkembang pesat menjadi pusat perniagaan dan pengembangan usaha. Para perantau dari berbagai kota berdatangan ke kota yang baru dan membentuk identitas kedaerahannya masing-masing.
Sejak zaman Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java mencatat kebiasaan makan orang Jawa di pagi hari yang disebut sebagai ‘sarap’. fenomena ini juga mencatat fenomena makan di warung pada pagi hari.
Orang Jawa biasa mendapatkan sajian ‘sarap(-an)’ berupa secangkir kopi beserta kudapan kue-kue yang dibuat dari beras dari tempat-tempat kecil di sudut dan pinggir kota yang dikenal sebagai ‘warongs’.
Hingga saat ini, dalam kebiasaan orang Betawi, sarapan di pagi hari adalah seperti yang digambarkan Raffles.
Batavia sebagai Melting Pot Antarbangsa
Thomas Raffles berlabuh di Batavia pada awal abad ke-19. dia mendapati Batavia saat itu telah menjadi sebuah kota dimana percampuran berbagai budaya antarbangsa terjadi.
Batavia saat itu baru bangkit kembali pasca tragedi berdarah setengan abad sebelumnya, Geger Pecinan 1740. dalam catatan Belanda yang nederlansentris, peristiwa tragis tersebut dicatat sebagai pemberontakan. Akan tetapi, dari sisi warga pendatang Batavia atau penduduk lokal, peristiwa tersebut dilihat sebagai pembantaian.
Geger Pecinan tercatat sebagai suatu hal besar yang mengoyakkan segala kehidupan di Batavia. Termasuk perekonomian dan penghidupan penduduknya.
Guna kembali ke kota yang normal, memakan waktu yang lama bagi Batavia untuk berbenah. Batavia, bersama para warga asli dan pendatang, kembali menata kota yang denyut kehidupannya bergantung pada kepadatan penduduknya.
Sebelum Geger Pecinan meletus, Batavia adalah sebuah kota Benteng, sama seperti kota-kota strategis tempat Belanda berkuasa lainnya. VOC merancang Batavia sebagai bandang dagang lengkap dengan tembok yang mengelilinginya. Bentangan tembok perlindungan itu seluas 10 hingga 15 km.
Wilayah Kota Tua di Jakarta pada saat ini adalah peninggalan yang tersisa dari wajah Batavia jaman dulu. Kota-kota di pesisir Jawa seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Lasem, dan Surabaya adalah model-model yang dibangun mengikuti rancangan ini.
Wilayah di luar benteng, pada masa sebelum kedatangan Raffles, adalah wilayah yang tidak diperhatikan pembangunannya. Wilayah luar benteng dikenal juga dengan sebutan Ommenlanden (wilayah sekitar).
Di wilayah itu, pendatang dari Cina yang dikenal sebagai Cina peranakan kelas pekerja menetap dan berbaur dengan kuli dan pekerja yang datang dari berbagai wilayah pedalaman di luar Batavia.
Bondan Kanumoyoso mencatat, para pendatang di wilayah Ommenlanden ini bahkan datang dari wilayah Cirebon hingga Tegal yang umumnya merantau untuk menjadi ‘bujang’, sebutan bagi kuli pengangkut tebu.